Bos IBC Curhat: Ternyata Bangun Industri Baterai Gak Murah!

Peran Antam & IBC di Mega Proyek Baterai Listrik Bersama CATL (CNBC Indonesia TV)

Direktur Utama PT Industri Baterai Indonesia, atau dikenal dengan Indonesia Battery Corporation (IBC), Toto Nugroho membeberkan bahwa perjalanan dalam membangun pabrik baterai kendaraan listrik (Electric Vehicles/ EV) di Indonesia tidak murah dan tidak cepat.

Toto mengungkapkan bahwa banyak tahapan yang harus dilalui, mulai dari sisi hulu hingga sisi hilir.

“Ternyata untuk bangun industri EV nggak bisa cepat dan murah, karena secara lihat baterai itu kecil, namun untuk kita mendapatkan dari mining kita sampai baterai yang diproduksi itu memerlukan tahapan,” jelasnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Proses pembuatan baterai EV, Toto menjelaskan, dimulai dari penambangan bahan baku, kemudian bahan baku tersebut diolah pada smelter atau fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral mentah. Selanjutnya, masuk pada proses pengolahan menjadi katoda baterai dan prekursor, dan terakhir menjadi sel baterai.

“Pertama, tentunya kita perlu mining. Kedua, masuk ke smelter, ada dua, yang satu RKEF (Rotary Kiln Electric Furnace) dan satu HPAL (High Pressure Acid Leaching). Dia kemudian diolah menjadi battery chemical precursor, setelah itu akan bangun battery cell,” tambahnya.

Setelah itu, lanjut Toto, baterai yang sudah digunakan, nantinya akan didaur ulang untuk diambil mineral yang masih terkandung, dan dijadikan menjadi baterai baru kembali.

“Baterai yang sudah dipakai itu diolah kembali jadi battery yang fresh. Jadi ada recycle mengambil baterai yang sudah tidak digunakan lagi, kita ambil mineralnya untuk jadi baterai yang baru,” tandasnya.

Begitu juga dari sisi biaya, dia mengakui, biaya untuk membangun pabrik baterai EV ini tidak lah sedikit. Proyek baterai IBC bekerja sama dengan PT Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co. Ltd. (CBL) asal China dan LG Energy Solution (LGES) asal Korea Selatan misalnya, diperkirakan membutuhkan biaya US$ 15,9 miliar atau sekitar Rp 225 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$).

Besarnya biaya yang dibutuhkan ini tak ayal membuat perusahaan harus menggandeng mitra dari luar negeri, seperti dari China dan Korea Selatan tersebut.

“Tentunya untuk baterai kendaraan listrik dari luar (investor asing),” ucapnya.

Untuk diketahui, Holding BUMN Tambang MIND ID terus berambisi untuk masuk ke dalam ekosistem kendaraan listrik melalui pengembangan produksi baterai kendaraan listrik (EV). Salah satunya, dengan mendorong peran dari Indonesia Battery Corporation (IBC), di mana MIND ID juga menjadi salah satu pemegang sahamnya.

Direktur Hubungan Kelembagaan MIND ID Dany Amrul Ichdan mengatakan, sebagai Holding BUMN Tambang pihaknya mendapat mandat dari pemerintah untuk bisa menjadi perusahaan kelas dunia (World Class Company). Beberapa di antaranya dimulai dengan menggenjot kegiatan eksplorasi yang agresif, ekspansi pasar, dan bisnis hilir.

“Dalam kerangka bisnis downstream itu salah satu dari penguatan downstream itu adalah memperkuat ekosistem electric vehicles (EV). Jadi memang kita dorong IBC anak usaha kita untuk dia bergerak lebih cepat lagi sebagai investment company,” ungkapnya dalam acara Mining Zone CNBC Indonesia, dikutip Rabu (22/2/2023).

Selain itu, dia juga mendorong agar IBC dapat menguasai proses industri manufaktur di dalam negeri. Namun, dengan adanya keterbatasan waktu saat ini, pihaknya akan melakukan kerja sama strategis atau strategic alliance dengan mitra yang sudah siap terlebih dahulu, salah satunya dengan perusahaan baterai asal China, Contemporary Amperex Technology Co. Ltd (CATL).

Apalagi, lanjutnya, Indonesia mempunyai potensi kekayaan sumber daya alam berupa nikel sebagai bahan baku produksi baterai kendaraan listrik. Oleh sebab itu, sebagai BUMN, pihaknya tidak hanya berbicara mengenai keuntungan semata, namun bisa menjalankan penugasan negara dengan sebaik-baiknya.

“Tapi kita harus develop sebuah ekosistem yang kuat sebagai perbaikan generasi ke depan. Jadi long term value. Karena BUMN gak hanya kembangkan comparative advantage tapi competitive advantage. Kita ada SDA, nikel kita ada, batu bara sekarang ada beyond coal, makanya ada DME. Ini kan DME salah satu bentuk beyond coal untuk masuk kepada downstream bisnis,” tuturnya.

“Nikel sama. Memang ini perlu waktu tapi sebagai agen negara kita gak hanya profitisasi tapi juga menjawab penugasan pemerintah. Kita akan jawab tantangan itu tapi masing-masing harus berada di koridor. IBC kembangkan strategi anorganic growth, sementara MIND id siapkan capex untuk kembangkan ini dan gak nanggung-nanggung harus jadi world class,” paparnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*